WAYANG
KARYA ASLI LELUHUR BANGSA
Sebagai Falsafah “Gumêlaring-Bawáná”
Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki beberapa jenis antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau, Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu, Wayang Golek terbuat dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia hidup-hidup Lho, hii..!!
Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi penggerong.
Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon
Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang, seorang dalang tidak bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon apa yang akan dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.
Di antaranya adalah sbb:
1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan.
2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.
3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang penanggap wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon sesuai wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah dilakukan kegiatan “nayuh” atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau gambaran akan suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini, maupun gambaran futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar dalang masa kini, salah satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan seseorang memiliki spiritualitas relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, masyarakat sering mengukur tingkat “kesaktian” (spiritualitas) seorang dalang bilamana ia sudah mampu membawakan lakon Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan disegani bila ia mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara “ruwat bumi”. Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM, yakni Ki Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering disebut-sebut pula sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali melakukan ruwatan bumi Yogya-Sala atas permintaan dari kraton Yogyakarta.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa digelar. Seperangkat wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh yang ada dalam jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon tertentu.
Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara pribadi berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat akibatnya di kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi, kesehatan atau keselamatannya. Maka orang tidak berani melanggar pantangan ini, karena percaya bahwa keluarganya akan mengalami kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan harus disesuaikan pula. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi Sri atau Pulangnya Dewi Sri, sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya adalah Bathara Kala.
Asal-usul Wayang
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas, demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.
Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim kepercayaan dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara turun temurun. Untuk mempertahankan kesenian asli warisan nenek-moyang nusantara, kraton Mataram Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang terutama wayang purwa/kulit, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habirandá pada tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang lulusan sekolah Habirandá banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya. Pertunjukan dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di desa-desa, serta di media elektronik. Sebagai salah satu penggemar kesenian wayang kulit, hampir setiap malam antara jam 23.00 hingga jam 03.00 terkadang jam 04.00, siaran wayang kulit melalui berbagai radio di Yogyakarta selalu setia menemani kami dalam kegiatan “metani keyboard”*. Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwa-raga ini dari rasa “kantuk” fisik dan “kantuk” batin. Nuwun Gong, Truk, Reng, Mar..!
Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam tesisnya, wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik) karena konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang buruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, harus dapat diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas pagelaran kesenian wayang memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam, dan kodrat Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat Jawa akan diukur dengan realitas tertinggi. Dalam wayang dituntut harus ada semangat, grengseng dan greget, yang semua itu merupakan proyeksi dari keindahan nilai realitas tertinggi.
1. Struktur Pergelaran
Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Patet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)
2. Garap tokoh
Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan tokoh, yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari sang guru.
3. Garap Catur
Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis dalam melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem Pewayangan)
Dalang Legendaris dan Asalnya:
Ki Narto Sabdo asal Semarang Jateng
Ki Hadi Sugito asal Kulonprogo Yogya
Ki Gita Sewaya asal Blitar jatim
Ki Gondo Buwono asal Madiun
Ki Anom Suroto asal Solo jateng
Ki Panut Darmoko asal Nganjuk Jatim
Ki Manteb Sudarsono asal Karanganyar Solo
Ki Timbul Cermomenggolo asal Bantul Yogyakarta
Ki Murdi Kandhamurdiyat asal Tulungagung Jatim
Ki Pringga Darsono asal Sragen
Ki Rusman S Hadikusumo asal Semarang
Ki Sunaryo asal Surabaya
Ki Asep Sunandar S asal Bandung Jabar (wayang-
golek)
Masih banyak lagi para profesional Dalang dari wilayah Banyumas, serta dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket, Dalang Jemblung, dan yang lain-lainnya.
Peralatan Dalam Pagelaran Wayang
Blencong : Lampu minyak kelapa untuk menerangi layar.
Dalang : Orang yang menjalankan lakon wayang.
Kelir : Gedebok pisang digunakan untuk
menancapkan wayang.
Wayang : Sejenis boneka dua dimensi yang
digerakkan oleh dalang.
Gamelan : Alat musik tradisional Jawa untuk
mengiringi pementasan.
Niyaga : Orang yang menabuh gamelan.
Lakon : Jalan cerita atau judul.
Sabetan : Gerak gerik wayang yang dijalankan
Ki Dalang.
Beber : Layar untuk menangkap bayangan wayang
dalam ajang sabetan.
Waranggana : Tim vokalis tembang dalam
pentas wayang.
Panyumping : Asisten dalang yang bertugas membantu
menyiapkan ubo rampe dan membantu
mengurutkan wayang.
Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang
yang belum dan sudah ditampilkan.
KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG
Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.
Gatholoco Bertanya
Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang, mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.
Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.
Jawaban Versi Gatholoco :
Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya. Semua itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua. Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.
Makna Di Balik Ucapan Gatholoco
Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.
Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.
Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.
Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;
Běběr
Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.
Kělir
Kělir adalah gěděbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).
Wayang
Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.
Pěthi
Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).
Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.
Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.
Blencong
Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.
Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :
..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir sinimpên sajroning kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit, marang êndi paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn tan wêruh sirà urip kàyà rêcà…
Bilamana pertunjukan wayang telah usai,
wayang dan kelir disimpan dalam kotak,
blencong terpisah dengan kelir,
dalang terpisah dengan wayang,
di manakah tujuannya,
hilangnya blencong wayang,
carilah sampai ketemu,
bila tak mengerti
kamu ibarat hidup seperti arca.
Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi, saikine sirà gêsang, patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip iku, ing ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé panggonanirà…..
Besok bila kamu mati,
hidupmu ada di mana,
sekarang ini kamu hidup,
kematianmu ada di mana,
hidupmu bakal mati,
kematian membawa kehidupan,
di mana kuburanmu,
kamu bawa kesana-kemari,
tunjukkan di manakah tempatmu.
Apa jawabannya…?
Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin. Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun lebih cenderung kiasan. Misalnya: …besok bila kamu mati. Maksudnya yang mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama…
0 komentar:
Posting Komentar