Gunung Kawi adalah sebuah gunung berapi di Jawa Timur, Indonesia, dekat dengan Gunung Butak. Tidak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung berapi ini.
Gunung Kawi, terletak di sebelah barat kota Malang merupakan obyek
wisata yang perlu untuk dikunjungi bila kita berada di Jawa Timur karena
keunikannya, obyek wisata ini lebih tepat dijuluki sebagai "kota di pegunungan".
Di sini kita tidak akan menemukan suasana gunung yang sepi, tapi justru
kita akan disuguhi sebuah pemandangan mirip di negeri tiongkok zaman
dulu.
Di sepanjang jalan kita akan menemui bangunan bangunan dengan arsitektur khas Tiongkok, dimana terdapat sebuah kuil/klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual khas Kong Hu Cu. Biasanya orang-orang Tionghoa mengunjungi tempat ini pada hari-hari tertentu untuk melakukan ritual keagamaan seperti memohon keselamatan , giam si , ci suak
dsb namun tak jarang pula yang hanya sekedar berpelesir untuk melepas
lelah. Di sepanjang jalan juga banyak terdapat penginapan baik itu
hotel, losmen, atau bahkan rumah penduduk dapat juga disewa untuk
dijadikan tempat menginap.
Ada banyak hal unik yang berhubungan dengan kepercayaan yang dapat
kita temukan di gunung Kawi, Salah satu diantaranya adalah sebuah pohon
yang konon dipercaya bila kita kejatuhan buahnya, maka kita akan
mendapat rejeki. Pada malam-malam tertentu akan banyak sekali orang yang
duduk di bawah pohon ini. Selain pohon, terdapat juga makam Mbah
Djoego, seorang pertapa pembantu Pangeran Diponegoro, yang juga sangat
dijaga oleh penduduk setempat.
Lihat Gambar:
Informasi Tentang Pesugihan di G. Kawi
Tidak asing lagi bilamana adanya mitos seputar pesugihan Gunung Kawi. Disaat orang banyak disibukkan dengan kesulitan ekonomi, kadang semua cara digunakan termasuk diantaranya adalah ritual pesugihan.
Ada yang mencari uang dengan bisnis internet, namun karena tidak sedahsyat dengan pesugihan, maka bagi orang yang malas akhirnya lebih memilih pesugihan. Mitos Pesugihan Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan).
Konon,
barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan
yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama menyangkut
masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini diyakini
banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan "berkah"
berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal
ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya lonjakan pengunjung yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang Jugo)
dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo). Ritual
dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama
berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di
dalam bangunan makam, pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang
tidak baik serta disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan
makam. Hal ini menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir
dan batin sebelum berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus utama
tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang dikunjungi
karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk
mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah
padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo
yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan
yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan
guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa
perang Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah
guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno
ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat
sering menyebutnya dengan nama 'janjam'. Guci kuno ini sekarang
diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan
meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon Dewandaru
Di
area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan
keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran.
Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa
disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo
menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman.
Untuk
mendapat 'simbol perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan,
buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung
berebut. Untuk memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu
dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun,
untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran.
Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat
ini untuk melakukan syukuran.
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang
dimakamkan dalam satu liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut
Soeryowidagdo (1989), Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo
atau Raden Mas Iman Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran
Diponegoro. Pada tahun 1830 saat perjuangan terpecah belah oleh siasat
kompeni, dan Pangeran Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke
Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo mengasingkan diri ke wilayah Gunung
Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan
mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan.
Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain
berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, juga
mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serta
ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat. Perbuatan dan
karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga
banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan Blitar datang ke
padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah
Eyang Jugo meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun
1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun,
para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam
mereka melakukan peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya
Eyang Jugo, dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1
bulan Suro (muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan tahlil
akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin oleh
juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak
ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa
bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah
yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak
berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah
bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.
Hingga
dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai
kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal
dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan
lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air.
Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua
tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.
0 komentar:
Posting Komentar